Pendahuluan: Menyambut 80 Tahun Kemerdekaan
Delapan puluh tahun lalu, para pendiri bangsa dengan penuh keberanian memproklamasikan kemerdekaan. 17 Agustus 1945 bukan hanya tanggal bersejarah, tetapi momentum sakral lahirnya sebuah bangsa yang berdaulat. Bung Karno pernah berujar, “Kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan emas, di seberang sana masih terbentang berbagai persoalan yang harus kita atasi.” Kalimat itu masih relevan hingga hari ini.
Kini, saat Indonesia merayakan usia ke-80 tahun kemerdekaannya, kita perlu bertanya: apakah jembatan emas itu sudah benar-benar membawa rakyat pada kesejahteraan, keadilan, dan persatuan yang dijanjikan? Ataukah kita masih berkutat dengan masalah klasik: kemiskinan, korupsi, ketidakadilan, dan kesenjangan?
Sebagai seorang advokat yang setiap hari bergulat dengan hukum dan keadilan, serta sebagai pemuda Indonesia yang tumbuh bersama semangat perubahan, saya melihat HUT ke-80 ini sebagai panggilan refleksi kebangsaan. Merdeka bukan sekadar bebas dari penjajahan asing, tetapi juga bebas dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan hukum yang masih dirasakan banyak warga.
Apakah Kita Benar-benar Merdeka dari Kemiskinan?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2025, angka kemiskinan nasional turun ke 8,47%, atau sekitar 23,85 juta jiwa. Secara statistik, ini capaian yang patut diapresiasi. Tapi di balik itu, terdapat cerita lain yang lebih dalam:
- Di desa, angka kemiskinan mencapai 11,03%. Ini menandakan masih kuatnya ketertinggalan struktural di pedesaan.
- Di kota, justru terjadi kenaikan menjadi 6,73%, sebuah ironi di tengah pembangunan perkotaan yang tampak megah.
- Kemiskinan ekstrem—yang berarti seseorang hidup di bawah garis kebutuhan paling dasar—masih dialami 0,85% penduduk, atau 2,38 juta jiwa.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada wajah-wajah rakyat yang harus memilih antara membeli beras atau membayar sekolah anaknya, antara mengobati penyakit atau tetap bekerja mencari nafkah.
Antara Statistik Nasional dan Realitas Global
Bank Dunia, dengan standar negara berpendapatan menengah atas (USD 8,30 PPP/hari), mencatat angka kemiskinan Indonesia jauh lebih besar: 68%, atau sekitar 194 juta jiwa. Perbedaan standar ini menyingkap sebuah fakta: garis kemiskinan kita masih terlalu rendah, sehingga banyak masyarakat “hampir miskin” tidak tercatat secara resmi.
Artinya, meskipun kita bersorak gembira atas angka kemiskinan yang menurun, kenyataan di lapangan tetap pahit: mayoritas rakyat masih hidup pas-pasan, mudah terguncang oleh krisis, pandemi, atau kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketimpangan Sosial: Luka Lama yang Belum Sembuh
Indonesia adalah negeri dengan paradoks. Di satu sisi, kita bangga dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, jurang ketimpangan masih menganga. Data BPS menunjukkan Papua Pegunungan memiliki tingkat kemiskinan 30,03%, sementara Bali hanya 3,72%.
Ketimpangan geografis ini bukan sekadar angka, tetapi kenyataan pahit bahwa kemerdekaan belum hadir secara merata. Seorang petani di Papua masih kesulitan menjual hasil panennya karena akses jalan dan pasar terbatas. Sementara di kota besar, gaya hidup konsumtif terus tumbuh.
Momentum HUT Ke-80: Dari Refleksi ke Aksi
Sebagai advokat, saya percaya hukum dan kebijakan publik punya peran penting dalam menjembatani jurang ini. Refleksi HUT ke-80 seharusnya tidak berhenti pada seremoni, tetapi menjadi call to action:
- Penegakan hukum berkeadilan: hukum jangan hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
- Revisi garis kemiskinan nasional agar lebih sesuai dengan realitas biaya hidup rakyat.
- Kebijakan pembangunan inklusif: tak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan pemerataan.
Peran Pemuda dan Advokat: Menjadi Penjaga Kemerdekaan
Generasi muda, termasuk para advokat muda, memiliki tanggung jawab historis untuk menjadi penjaga kemerdekaan di era ini. Kita tidak lagi melawan kolonialisme asing, tetapi menghadapi “penjajahan baru” berupa korupsi, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan.
Pemuda harus:
- Berani menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang timpang.
- Membawa advokasi ke akar rumput, agar masyarakat miskin tidak sendirian melawan ketidakadilan.
- Membangun solidaritas kebangsaan, bukan sekadar sibuk dengan identitas politik sesaat.
Seperti kata Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan untuk menuju masyarakat adil dan makmur.”
Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045
HUT ke-80 ini juga menjadi titik refleksi menuju Indonesia Emas 2045, saat bangsa ini berusia 100 tahun. Visi besar itu adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Tetapi untuk mencapainya, ada beberapa tantangan utama yang harus kita hadapi bersama:
-
Bonus Demografi
Pada 2030–2040, Indonesia akan menikmati puncak bonus demografi: lebih dari 60% penduduk berada di usia produktif. Jika tidak disiapkan dengan lapangan kerja dan pendidikan berkualitas, bonus ini bisa berubah menjadi bencana sosial berupa pengangguran massal. -
Kualitas Sumber Daya Manusia
Data Human Capital Index Indonesia masih tertinggal dibanding negara tetangga. Rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan anak-anak akan menentukan daya saing kita di 2045. -
Ketahanan Ekonomi dan Teknologi
Dunia memasuki era digital dan transisi energi. Indonesia harus berani keluar dari ketergantungan pada sumber daya alam mentah, lalu beralih pada ekonomi berbasis inovasi, industri hijau, dan digitalisasi. -
Kepastian Hukum dan Pemberantasan Korupsi
Tanpa hukum yang tegas dan adil, visi Indonesia Emas hanya akan menjadi slogan. Korupsi, mafia hukum, dan praktik ketidakadilan harus benar-benar diberantas. -
Persatuan di Tengah Kebhinnekaan
Polarisasi politik beberapa tahun terakhir menunjukkan rapuhnya persatuan kita. Menuju 2045, bangsa ini hanya bisa besar jika tetap bersatu dalam perbedaan.
Penutup: Jiwa Merdeka adalah Jiwa yang Berjuang
HUT Kemerdekaan RI ke-80 bukan sekadar pesta tahunan. Ia adalah cermin, pengingat, sekaligus alarm bangsa. Kemerdekaan sejati bukan hanya berdiri di atas panggung dan menyanyikan lagu kebangsaan, melainkan memastikan setiap warga bangsa merasakan keadilan dan kesejahteraan.
Menuju Indonesia Emas 2045, generasi mudalah yang akan menentukan arah bangsa. Kita harus berani menjadi pengawal, pelindung, dan pembaharu. Sebagai advokat, saya percaya hukum adalah jalan untuk menjembatani keadilan. Sebagai pemuda, saya yakin mimpi Indonesia bisa kita wujudkan.
“Merdeka sejati adalah ketika bangsa ini berdiri tegak, bukan hanya karena benderanya berkibar, tetapi karena rakyatnya sejahtera dan hukumnya berkeadilan.”
Referensi
- Badan Pusat Statistik (2025). Persentase Penduduk Miskin Maret 2025 Turun Menjadi 8,47 Persen. bps.go.id
- Badan Pusat Statistik (2025). Tingkat Kemiskinan Kembali Menurun. bps.go.id
- Bank Dunia (2025). World Bank Poverty Line Update – dirangkum oleh Detik.com
- Metrotvnews (2025). Pengamat: Penurunan Kemiskinan Indonesia Tak Bermakna.