[Penulis : Sirajuddin, S.H., M.H., C.L.A.]
Beberapa pekan terakhir, media sosial dan pemberitaan ramai membahas soal royalti musik—mulai dari polemik pembebanan ke konsumen di restoran, sampai sorotan terhadap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik tanpa izin. Banyak yang masih bingung: apakah membayar royalti itu wajib secara hukum, atau sekadar pilihan?
Apa itu Royalti Musik?
Royalti adalah imbalan yang diberikan kepada pencipta lagu, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait atas penggunaan lagu/musik. Jika musik digunakan untuk tujuan komersial—misalnya diputar di restoran, kafe, hotel, gym, pusat perbelanjaan, event, siaran televisi, radio, hingga platform digital—maka pengguna wajib membayar royalti.
Kewajiban ini diatur jelas dalam:
- UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
- PP No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu/Musik, dan
- Permenkumham No. 27 Tahun 2025 sebagai aturan pelaksana terbaru.
Siapa yang Menarik dan Menyalurkan Royalti?
Pengelolaan royalti di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga:
- LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) – mewakili anggota (pencipta atau pemilik hak terkait) untuk menarik dan membagikan royalti.
- LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) – berperan sebagai simpul nasional yang mengumpulkan, menghitung, dan menyalurkan royalti lintas LMK.
Dengan sistem ini, pelaku usaha cukup membayar melalui LMKN (atau LMK yang menjadi anggotanya), lalu dana akan disalurkan kepada pencipta sesuai data penggunaan musik.
Aturan Terbaru: Permenkumham 27/2025
Regulasi ini memperjelas:
- Kategori usaha yang wajib membayar royalti (lebih dari 20 jenis, termasuk restoran, kafe, hotel, karaoke, gym, dan streaming).
- Tanggung jawab pemilik atau penyelenggara usaha—bukan konsumen.
- Mekanisme pembayaran yang terpusat melalui LMKN.
Langkah ini juga diikuti dengan pelantikan Komisioner LMKN 2025–2028 untuk memperkuat basis data, transparansi, dan pedoman tarif.
Data Terbaru: Uang Royalti yang Terkumpul
Menurut LMKN dan DJKI:
- 2022: sekitar Rp27,8 miliar (distribusi)
- 2023: sekitar Rp40,8 miliar (distribusi)
- 2024: sekitar Rp54,2 miliar (distribusi) dan ±Rp77 miliar (pengumpulan).
Meski angka ini meningkat, kepatuhan masih rendah—diperkirakan hanya sekitar 2% pelaku usaha yang rutin membayar royalti.
Isu Terkini
Beberapa kasus membuat topik ini viral:
- Polemik pembebanan royalti ke konsumen restoran, yang memicu klarifikasi pejabat publik dan edukasi dari Kemenkumham bahwa kewajiban ada pada pemilik usaha.
- Kasus Mie Gacoan, yang jadi sorotan karena memutar musik di ruang publik tanpa lisensi.
Bagaimana Cara Patuh yang Praktis?
Bagi pelaku usaha:
- Identifikasi apakah musik digunakan di tempat Anda untuk kepentingan komersial.
- Hubungi LMKN atau LMK terkait untuk mengetahui tarif dan mekanisme pembayaran.
- Bayar royalti sesuai pedoman resmi dan simpan bukti pembayaran.
- Laporkan penggunaan musik secara berkala.
Bagi kreator konten dan penyelenggara siaran:
- Pastikan memiliki lisensi atas musik yang digunakan (termasuk cover) dan membayar royalti sesuai jalur yang sah.
Kesimpulan
Membayar royalti musik bukan pilihan, melainkan kewajiban hukum. Selain menghindarkan pelaku usaha dari sanksi, pembayaran royalti adalah bentuk penghargaan kepada pencipta lagu yang karyanya menghidupkan suasana usaha Anda. Dengan regulasi terbaru, pemerintah berharap kepatuhan meningkat, ekosistem musik lebih sehat, dan semua pihak diuntungkan.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
- Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu/Musik.
- Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 27 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu/Musik.
- DJKI Kemenkumham, Data Distribusi Royalti 2022–2024.
- LMKN, Laporan Pengumpulan Royalti 2024.
- MetroTV & Hukumonline, pemberitaan polemik royalti di restoran (2025).
- Kumparan, pemberitaan kasus Mie Gacoan dan kewajiban royalti (2025).
- Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembedaan kewenangan LMK dan LMKN.